Selasa, 20 Desember 2016

PENDEKATAN DALAM PENELITIAN KUALITATIF

Oleh :
Nasrullah
Irfawati

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang sangat penting bagi pengembangan ilmu dan bagi pemecahan suatu masalah. Beberapa ilmuwan memulai kegiatan ilmiahnya dengan melakukan penelitian. Penelitian menjadi alat bagi ilmuwan untuk mengungkap tabir yang ada di balik fenomena yang terjadi hingga terungkap beberapa kebenaran yang sesungguhnya dan dapat dihasilkan pengetahuan baru yang bermanfaat, di damping itu, penelitian sangat berguna bagi pemecahan suatu masalah dengan mengambil pelajaran dari temuan penelitian. Dengan demikian, penelitian pada hakekatnya adalah upaya untuk mencari jawaban yang benar dan logis atas suatu masalah yang di dasarkan atas data empiris yang terpercacaya.
Melalui penelitian yang seksama dan sistematis, para ilmuwan dapat menemukan berbagai gejala atau praktik yang dapat dijadikan solusi terbaik bagi upaya pemecahan suatu masalah. Aktifitas penelitian merupakan suatu tahapan yang terus diikuti yang setiap langkahnya merupakan pengalaman yang menambah wawasan baru. Bukankah semakin banyak pengalaman orang, semakin bertambah pengetahuannya, semakin banyak alternatif untuk memecahkan masalah. Demikianlah penelitian dapat menjadi pengalaman yang berharga dan menjadi guru yang terbaik yang memberikan banyak pelajaran bagi orang yang mau memanfaatkannya.
Temuan temuan penelitian mengungkapkan berbagai gejala atau praktik yang bila dikembangkan lebih lanjut dengan analisa yang tepat, terdapat praktik dan gejala yang satu sama lain saling berhubungan dan membentuk suatu ikatan yang kokoh untuk memecahkan suatu masalah dan bahkan dapat membangun suatu praktik terbaik. Disinilah para ilmuwan menemukan konsep dan teori baru. Walaupun tidak semua ilmu pengetahuan dihasilkan dari penelitian, namun tidak dipungkiri secara empirik bahwahwa hasil penelitian telah menghasilkan ilmu pengetahuan baru dan dijadikan salah satu metodologi ilmu.
Penelitian merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematik untuk mengumpulkan, mengolah dan menyimpulkan data dengan menggunakan metode dan teknik tertentu dalam rangka mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Guna memecahkan masalah tersebut dilakukan suatu penelitian guna mendapatkan informasi yang akurat sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan bahkan dapat memperkaya wawasan baru yang dapat digunakan bagi pengembangan ilmu lebih lanjut
Dalam melakukan penelitian seorang peneliti harus taat pada kaidah ilmiah yang telah baku dan telah menjadi standar dalam penelitian, termasuk jenis pendekatan yang dipakai dalam penelitian. Menurut John w. Creswell ada lima jenis pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu:
1.     Studi Naratif
Studi naratif bisa didefinisikan sebagai studi yang berfokus pada narasi, cerita, atau deskripsi tentang serangkaian peristiwa terkait dengan pengalaman manusia.
2.     Studi fenomenologi
Merupakan studi yang berusaha mencari "esensi" makna dari suatu fenomena yang dialami oleh beberapa individu.
3.     Studi Grounded Theory
Studi grounded theory menekankan upaya peneliti dalam melakukan analisis abstrak terhadap suatu fenomena, dengan harapan bahwa analisis ini dapat menciptakan teori tertentu yang dapat menjelaskan fenomena tersebut secara spesifik.
4.     Studi Etnografis
Studi etnografis berusaha meneliti suatu kelompok kebudayaan tertentu berdasarkan pada pengamatan dan kehadiran peneliti di lapangan dalam waktu yang lama.
5.     Studi Kasus
Studi kasus merupakan salah satu jenis pendekatan kualitatif yang menelaah sebuah "kasus" tertentu dalam konteks atau setting kehidupan nyata kontemporer.
Dalam pembahasan makalah ini penulis akan membahas dua di antara lima pendekatan yang telah dikemukakan oleh John w. Creswell yaitu pendekatan Fenomenologi dan pendekatan Studi Kasus (Kasuistik). Selain akan membahas dua pendekatan yang telah disebutkan oleh John w. Creswell, penulis juga akan membahasan satu pendekatan lain yaitu pendekatan Agama, di mana pendekatan ini relevan dengan cipitas akademika Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penulisan makalah ini penulis mentukan rumusan masalah sebagai berikut :
1.     Apa yang dimaksud dengan pendekatan keagamaan dalam penelitian kualitatif
2.     Apa yang dimaksud dengan pendekatan Fenomenologi dalam penelitian kualitatif
3.     Apa yang dimaksud dengan pendekatan Fenomenologi dalam penelitian kualitatif


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pendekatan Kegamaan Dalam Penelitian Kualitatif
Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan. Mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya
Penelitian kulalitatif dengan pendekatan agama/keagamaan adalah penelitian sosial yang berusaha mengungkap sikap manusia terhadap agama, yakni: Sikap manusia terhadap agama sebagai pedoman hidup (way of life) oleh para pemeluknya, dan sikap terhadap agama sebagai (kajian) ilmu oleh para pemeluknya, maupun yang  bukan sebagai pemeluknya. Sehubungan dengan hal tersebut, setidaknya terdapat 2 (dua) pendekatan yang menonjol dalam mempelajari agama, yakni; mempelajari agama untuk mengetahui cara beragama yang benar dengan mengedepankan aspek relijiusitas dan spiritualitas sehingga esensi ajaran agama dapat dihayati untuk kemudian dilaksanakan dalam kehidupan. Orientasinya adalah implementasi norma. Kedua adalah Mempelajari (meneliti) agama, keagamaan dan kehidupan beragama sebagai ilmu atau ilmu pengetahuan sebagai kebudayaan.
Penlitian dengan pendekatan keagamaan  berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Penelitian keagamaan dan kehidupan beragama, dapat memanfaatkan metode-metode penelitian kualitatif yang lazim dimanfaatkan dalam penelitian-penelitian sosial dan humaniora. Penelitian kualitatif dengan pendekatan keagamaan adalah penelitian sosial dengan dengan pendekatan terhadap manusia sebagai hamba, sekaligus sebagai makhluk sosial yang beribadah, menganut kepercayaan, dan menjalankan kepercayaan tersebut dalam lingkungan kehidupan tertentu. Dalam kalangan ahli ilmu agama berkembang kecenderungan untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta metode-metode penelitiannya. Kecenderungan ini terdorong oleh kesadaran bahwa, usaha memahami masyarakat beragama dan kehidupan beragama harus didekati dengan metode empiris.
1. Arti Penelitian agama
Penelitian  adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan.
Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuan-penemuan baru.[1] 
Penelitian itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.[2]
Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Harun Nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial.[3]
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid dalam Hakim dan Mubarak menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti.[4]
Menurut Harun Nasution, agama mengandung dua kelompok ajaran, yaitu:
1.   Ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama kelompok.
2.    Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.[5]
Para ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural. Jadi, Ahmad Syafi’i Mufid dalam Mochtar menyatakan bahwa kita tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian sosial terhadap agama.
Dengan demikian kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lainnya, yang membedakannya hanyalah objek kajian yang ditelitinya. Dengan demikian, agama dalam pengertian yang kedua menurut Harun Nasution dapat dijadikan sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode yang lain.[6]
Jadi pendapat Harun Nasution mengenai penjelasan-penjelasan tentang ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci oleh para pemuka atau pakar agama membetuk ajaran agama kelompok kedua bersifat nisbi, relatif dan dapat dirubah sesuai perkembangan zaman tidak sesuai dengan ajaran islam, sebagai contohnya Rasulullah menjelaskan tata cara shalat, sedangkan didalam kitab suci tidak diterangkan tata cara shalat, dan tata cara shalat ini sendiri bersifat qhat’i (tidak bisa dirubah). Kalau menurut Harun Nasution berarti penjelasan-penjelasan Rasulallah tentang tata cara shalat berarti bersifat nisbi dan dapat dirubah.[7]

2. Penelitian Agama dan Penelitian Keagamaan
Penelitian agama  lebih ditekankan pada aspek pemikiran dan interaksi sosial. Pada aspek pemikiran, menggunakan metode filsafat dan ilmu-ilmu humaniora. Sedangkan pada aspek interaksi sosial, yakni penelitian keagamaan sebagai produk interaksi sosial, menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, historia atau sejarah sosial yang biasa berlaku dan sebagainya. Misalnya : penelitian tentang perilaku jama’ah haji di daerah tertentu, hubungan ulama dengan keluarga berencana, penelitian tentang perilaku ekonomi dalam masyarakat muslim.
Dalam pandangan Middleton, penelitian agama Islam adalah penelitian yang objeknya adalah substansi agama Islam, seperti kalam, fikih, akhlak, dan tasawuf. Sedangkan dalam pandangan Juhaya S. Praja menyebutkan bahwa penelitian agama adalah penelitian tentang asal usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya.[8]
M. Atho Mudzhar menyatakan bahwa perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang pernah merintisnya. Adanya ilmu ushul al-fiiqh sebagai metode untuk istinbath hukum dalam agama islam dan ilmu mushthalah al-hadits sebagai metode untuk menilai akurasi sabda Nabi Muhammad saw. merupakan bukti bahwa keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan agama ini pernah muncul.[9]
Penelitian keagamaan yang sasarannya adalah agama sebagai gejala sosial, kita tidak perlu membuat metodologi penelitian tersendiri. Ia cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada.[10]
Dengan kata lain bahwa pendapat M. Atho Mudzhar identik dengan pendapat yang dikemukakan Harun Nasution, kalau penelitian agama sama dengan ajaran agama kelompok pertama dan penelitian keagamaan sama dengan ajaran agama kelompok kedua menurut Harun Nasution.
Juhaya S. Praja, dalam pandangannya mengatakan;
penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, terdapat dua bidang penelitian agama, yaitu sebagai berikut;
1.   Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadis.
2.   Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran agama itu.[11]
Sedangkan penelitian keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif. Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi hal-hal berikut.
1.   Perilaku individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang dianutnya.
2.   Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu agama.
3. Ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama.[12]
Dalam hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Juhaya S. Praja ada kesamaan dengan pendapat Harun Nasution dan M. Atho Mudzhar, akan tetapi Juhaya membagi penelitan agama menjadi dua bidang, yang pada intinya pendapatnya sama dengan pendapat Harun Nasution tentang ajaran agama kelompok pertama. Sedangkan penelitian keagamaan menurut Juhaya adalah penelitian keagamaan, yaitu penelitian terhadap praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif.

3. Model-Model Penelitian Keagamaan
Model-model penelitian keagamaan disesuaikan dengan perbedaan antara penelitian agama dan penelitian keagamaan. Djamari, menjelaskan bahwa kajian sosiologi agama dengan menggunakan metode ilmiah. Pengumpulan data dan metode yang digunakan antara lain:[13]

1. Analisis Sejarah
Dalam hal ini, sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga, dan pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain.
Seperti halnya agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah agama yang diturunkan melalui Nabinya yaitu Muhammad saw berdasarkan kitab sucinya yaitu Alquran yang ditulis dalam bahasa arab. Islam diturunkan bukan untuk satu bangsa saja melainkan untuk seluruh bangsa secara universal. Sedangkan agama lain ada yang hanya diturunkan untuk satu bangsa saja seperti yahudi untuk ras yahudi saja.[14]
Pendekatan sejarah dalam memahami agama dapat membuktikan apakah agama itu masih tetap pada orisinalitasnya seperti ketika ia baru muncul atau sudah bergeser jauh dari prinsip-prinsip utamanya. Bila hal itu dihubungkan dengan agama islam maka ia dapat dimasukkan pada kategori agama yang bertahan konsisten dengan ajaran seperti pada masa awalnya.[15]
Menurut ahli perbandingan agama seperti A. Mukti Ali, apabila kita ingin memahami sebuah agama maka kita harus mengidentifikasi lima aspek yaitu konsep ketuhanan, pembawa agama atau nabi, kitab suci, sejarah agama, dan tokoh-tokoh terkemuka agama tersebut.[16]

2. Analisis lintas budaya
Analisis lintas budaya bisa diartikan dengan ilmu antropologi, karena dilihat dari definisi antropologi sendiri secara sederhana dapat dikatakan bahwa antropologi mengkaji kebudayaan manusia.[17]
Islam sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad saw sampai saatnya kini telah melalui berbagai dimensi budaya dan adat-istiadat. Masing-masing negeri memiliki corak budayanya masing-masing dalam mengekspresikan agamanya. Karena itu dari segi antropologi kita dapat memilah-milah mana bagian islam yang merupakan ajaran murni dan mana ajaran islam yang bercorak lokal budaya setempat.[18]

3. Eksperimen.
Penelitian yang menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam penelitian agama. Namun, dalam beberapa hal,eksperimen dapat dilakukan dalam penelitian agama, misalnya untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar dari beberapa model pendidikan agama.

4. Observasi partisipatif.
Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam konteks relegius. Baik diketahui atau tidak oleh orang yang sedang diobeservasi. Dan diantara kelebihannya yaitu memungkinkannya pengamatan simbolik antar anggota kelompok secara mendalam. Adapun kelemahannya yaitu terbatasnya data pada kemampuan observer.

5. Riset survei dan analisis statistik
Penelitian survei dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan sampel dari suatu populasi. Sampel bisa berupa organisasi keagamaan atau penduduk suatu kota atau desa. Prosedur penelitian ini dinilai sangat berguna untuk memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan tertentu dengan sikap sosial atau atribut keagamaan tertentu.

6. Analisis isi
Dengan metode ini, peneliti mencoba mencari keterangan dari tema-tema agama, baik berupa tulisan, buku-buku khotbah, doktrin maupun deklarasi teks, dan lainnya. Umpamanya sikap kelompok keagamaan dianalisis dari substansi ajaran kelompok tersebut.[19]


B.      Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Fenomenologi
Konsep fenomenologi bermula dari pandangan Edmund Husserl yang meyakini bahwa sesungguhnya objek ilmu itu tidak terbatas pada hal-hal yang empiris (terindra), tetapi juga mencakup fenomena yang berada di luar itu, seperti persepsi, pemikiran, kemauan dan keyakinan subjek tentang “sesuatu” di luar dirinya. Sesungguhnya memang demikian. Pada dasarnya  masih banyak objek yang tidak terindra oleh manusia, dan terkadang yang terindra oleh manusia belumlah merupakan tampilan yang sesungguhnya dari apa yang semestinya.
Misalnya, saat kita menanyakan pendapat seseorang tentang sesuatu dan yang bersangkutan mengangguk-angguk dengan pendapat yang kita kemukakan, fenomena mengangguknya yang terindra oleh manuasia memiliki banyak makna. Pada kasus ini, mungkin saja yang bersangkutan mengangguk karena menyetujui lontaran pendapat dari yang lainnya, atau mungkin pula yang bersangkutan sedang berpikir dan mencerna pendapat itu.
Penelitian dengan berlandaskan fenomenologi adalah penelitian yang melihat objek penelitian dalam satu konteks naturalnya. Artinya seorang peneliti kualitatif yang menggunakan dasar fenomenologi melihat suatu peristiwa tidak secara parsial,[20] lepas dari konteks sosialnya karena satu fenomena yang sama dengan situasi yang berbeda akan memiliki makna yang berbeda pula. Untuk itu, dalam mengobservasi data di lapangan, seorang peneliti tidak dapat melepas konteks atau situasi yang menyertainya, dengan kata lain penelitian yang menggunakan model fenomenologi menuntut bersatunya subjek  penelitian dengan subjek pendukung penelitian, dengan demikian metode penelitian berlandaskan fenomenologi mengakui adanya empat kebenaran, yaitu; kebenaran empiris yang terindra, kebenaran empiris logis, kebenaran empiris etik, dan kebenaran trasendental.[21]
Pendekatan fenomenologi dalam penelitian kulatitatif juga merupakan studi yang berusaha mencari "esensi" makna dari suatu fenomena yang dialami oleh beberapa individu. untuk menerapkan riset fenomenologis, peneliti bisa memilih antara fenomenologi hermeneutik yaitu yang berfokus pada "penafsiran" teks-teks kehidupan dan pengalaman hidup atau fenomenologi transendental dimana peneliti berusaha meneliti suatu fenomena dengan mengesampingkan prasangka tentang fenomena tersebut. Prosedurnya yang terkenal adalah Epoche (pengurungan), yakni suatu proses di mana peneliti harus mengesampingkan seluruh pengalaman sebelumnya untuk memahami semaksimal mungkin pengalaman dari para partisipan. Analisisnya berpijak pada horizonalisasi, di mana peneliti berusaha meneliti data dengan menyoroti pernyataan penting dari partisipan untuk menyediakan pemahaman dasar tentang fenomena tersebut.
Fenomenologi adalah fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Fenomenologi merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu objek. Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau dapat diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengonstruksi makna dan konsep-konsep penting dalam kerangka intersubjektifitas. Secara harfiah, fenomenologi adalah studi yang mempelajari fenomena, seperti penampakan, segala hal yang muncul dalam pengalaman kita, cara kita mengalami sesuatu dan makna yang kita miliki dalam pengalaman tersebut.
Pada dasarnya fenomenologi mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran yang ada di dalam persepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, dan tindakan, baik itu tindakan sosial maupun dalam bentuk bahasa.
Berbicara tentang metodologi penelitian, maka fenomenologi dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1.       Metodologi Penelitian Fenomenologi Schutz.
Schutz mengawali pemikirannya dengan mengatakan bahwa objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan dengan interpretasi terhadap realitras. Jadi sebagai peneliti sosial, kitapun harus membuat interpretasi terhadap realitas yang diamati, dalam meneliti, peneliti harus menggunakan metode interpretasi yang sama dengan orang yang diamati, sehingga peneliti bisa masuk ke dalam dunia interpretasi orang yang dijadikan objek penelitian. Pada praktiknya, peneliti mengasumsikan dirinya sebagai orang yang tertarik atau bukan bagian dari dunia yang diamati, peneliti hanya terlibat secara kognitif dengan yang diamati.
2.       Metodologi Penelitian Fenomenologi Transendental Husserl
Pemikiran fenomenologi transendental Husserl berbicara tentang perbedaan fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real dan yang tidak real. Karena itu, secara metologis, fenomenologis, bertugas menjelaskan thing in themselves, mengetahui apa yang masuk sebelum kesadaran dan memahami makna dan esensinya, dalam intuisi dan refleksi diri. Proses ini memerlukan penggabungan dari apa yang tampak, dan apa yang ada dalam gambaran orang yang mengalaminya, jadi gabungan antara yang nyata (real) dan yang ideal.
Dalam strategi pengumpulan data untuk pendekatan fenomenologi dapat menggunakan campuran obeservasi, wawancara, dan membaca teks-teks yang berhubungan dengan objek penelitian.

C. Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Kasuistik (studi Kasus)
Penelitian kualitatif dengan pendekatan kasusuistik adalah salah satu metode penelitian dalam ilmu sosial. Dalam riset yang menggunakan metode ini, dilakukan pemeriksaan longitudinal yang mendalam terhadap suatu keadaan atau kejadian yang disebut sebagai kasus dengan menggunakan cara-cara yang sistematis dalam melakukan pengamatan, pengumpulan data, analisis informasi, dan pelaporan hasilnya.
Sebagai hasilnya, akan diperoleh pemahaman yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan dapat menjadi dasar bagi riset selanjutnya. Pendakatan Kasuistik dalam penelitian kualitatif sering juga disebut dengan studi kasus, dapat digunakan untuk menghasilkan dan menguji hipotesis. Pendapat lain menyatakan bahwa studi kasus adalah suatu strategi riset, penelaahan empiris yang menyelidiki suatu gejala dalam latar kehidupan nyata. Strategi ini dapat menyertakan bukti kuatitatif yang bersandar pada berbagai sumber dan perkembangan sebelumnya dari proposisi teoretis. Studi kasus dapat menggunakan bukti, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Penelitian dengan subjek tunggal memberikan kerangka kerjastatistik untuk membuat inferensi dari data studi kasus kuantitatif.
Seperti halnya pada tujuan penelitian lain pada umumnya, pada dasarnya peneliti yang menggunakan metode penelitian studi kasus bertujuan untuk memahami objek yang ditelitinya. Meskipun demikian, berbeda dengan penelitian yang lain, penelitian studi kasus bertujuan secara khusus menjelaskan dan memahami objek yang ditelitinya secara khusus sebagai suatu ‘kasus’. Berkaitan dengan hal tersebut,  Tujuan penggunaan penelitian studi kasus adalah tidak sekadar untuk menjelaskan seperti apa objek yang diteliti, tetapi untuk menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat terjadi, dengan kata lain, penelitian studi kasus bukan sekadar menjawab pertanyaan penelitian tentang ‘apa’ (what) objek yang diteliti, tetapi lebih menyeluruh dan komprehensif lagi adalah tentang ‘bagaimana’ (how) dan ‘mengapa’ (why) objek tersebut terjadi dan terbentuk sebagai dan dapat dipandang sebagai suatu kasus. Sementara itu, strategi atau metode penelitian lain cenderung menjawab pertanyaan siapa (who), apa (what), dimana (where), berapa (how many) dan seberapa besar (how much).






[1] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Cet. X; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 55.
[2] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, h. 55.
[3] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), h. 172.
[4] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, h. 57.
[5] Harun Nasution, Islam Rasional, h. 175.
[6] Harun Nasution, Islam Rasional, h. 177.
[7] Harun Nasution, Islam Rasional, h. 177.
[8] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 219.
[9] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 89.
[10]  Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, h. 50
[11] Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 31.
[12] Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Islam, h. 31.
[13] Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Depdikbud DIKTI, 1988), h. 79 – 85.
[14] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam (Cet. I; Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), h. 118
[15] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, h. 118
[16] A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 37-38.
[17] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, h. 114.
[18] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islamh. 115.

[19] Risnaldi, Corak dan Model Keagamaan. (http://risnaldi-sbkr.blogspot.com/2010/11 /corak-dan-model-penelitian-agama.html.) diakses tanggal 19 Desember 2016.
[20] Seorang peneliti tidak memandang fenomena secara sepotong-sepotong, akan tetapi secara menyeluruh.
[21] Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif  (Cet. Ke II; Erlangga, 2009), h. 59.