Oleh :
Nasrullah
Irfawati
BAB I
Nasrullah
Irfawati
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang sangat penting bagi pengembangan ilmu dan
bagi pemecahan suatu masalah. Beberapa ilmuwan memulai kegiatan ilmiahnya
dengan melakukan penelitian. Penelitian menjadi alat bagi ilmuwan untuk
mengungkap tabir yang ada di balik fenomena yang terjadi hingga terungkap
beberapa kebenaran yang sesungguhnya dan dapat dihasilkan pengetahuan baru yang
bermanfaat, di damping itu, penelitian sangat berguna bagi pemecahan suatu
masalah dengan mengambil pelajaran dari temuan penelitian. Dengan demikian,
penelitian pada hakekatnya adalah upaya untuk mencari jawaban yang benar dan
logis atas suatu masalah yang di dasarkan atas data empiris yang terpercacaya.
Melalui
penelitian yang seksama dan sistematis, para ilmuwan dapat menemukan berbagai
gejala atau praktik yang dapat dijadikan solusi terbaik bagi upaya pemecahan
suatu masalah. Aktifitas penelitian merupakan suatu tahapan yang terus diikuti
yang setiap langkahnya merupakan pengalaman yang menambah wawasan baru.
Bukankah semakin banyak pengalaman orang, semakin bertambah pengetahuannya,
semakin banyak alternatif untuk memecahkan masalah. Demikianlah penelitian
dapat menjadi pengalaman yang berharga dan menjadi guru yang terbaik yang memberikan
banyak pelajaran bagi orang yang mau memanfaatkannya.
Temuan
temuan penelitian mengungkapkan berbagai gejala atau praktik yang bila
dikembangkan lebih lanjut dengan analisa yang tepat, terdapat praktik dan
gejala yang satu sama lain saling berhubungan dan membentuk suatu ikatan yang
kokoh untuk memecahkan suatu masalah dan bahkan dapat membangun suatu praktik
terbaik. Disinilah para ilmuwan menemukan konsep dan teori baru. Walaupun tidak
semua ilmu pengetahuan dihasilkan dari penelitian, namun tidak dipungkiri
secara empirik bahwahwa hasil penelitian telah menghasilkan ilmu pengetahuan
baru dan dijadikan salah satu metodologi ilmu.
Penelitian
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematik untuk mengumpulkan,
mengolah dan menyimpulkan data dengan menggunakan metode dan teknik tertentu
dalam rangka mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Guna memecahkan
masalah tersebut dilakukan suatu penelitian guna mendapatkan informasi yang
akurat sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan bahkan
dapat memperkaya wawasan baru yang dapat digunakan bagi pengembangan ilmu lebih
lanjut
Dalam
melakukan penelitian seorang peneliti harus taat pada kaidah ilmiah yang telah
baku dan telah menjadi standar dalam penelitian, termasuk jenis pendekatan yang
dipakai dalam penelitian. Menurut John w. Creswell ada lima jenis
pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu:
1.
Studi
Naratif
Studi naratif bisa didefinisikan sebagai studi yang berfokus
pada narasi, cerita, atau deskripsi tentang serangkaian peristiwa terkait
dengan pengalaman manusia.
2.
Studi
fenomenologi
Merupakan studi yang berusaha mencari "esensi"
makna dari suatu fenomena yang dialami oleh beberapa individu.
3.
Studi
Grounded Theory
Studi grounded theory menekankan upaya peneliti dalam
melakukan analisis abstrak terhadap suatu fenomena, dengan harapan bahwa
analisis ini dapat menciptakan teori tertentu yang dapat menjelaskan fenomena
tersebut secara spesifik.
4.
Studi
Etnografis
Studi etnografis berusaha meneliti suatu kelompok kebudayaan
tertentu berdasarkan pada pengamatan dan kehadiran peneliti di lapangan dalam
waktu yang lama.
5.
Studi
Kasus
Studi kasus merupakan salah satu jenis pendekatan kualitatif
yang menelaah sebuah "kasus" tertentu dalam konteks atau setting
kehidupan nyata kontemporer.
Dalam pembahasan makalah ini penulis akan membahas dua di
antara lima pendekatan yang telah dikemukakan oleh John
w. Creswell yaitu
pendekatan Fenomenologi dan pendekatan Studi Kasus (Kasuistik). Selain akan
membahas dua pendekatan yang telah disebutkan oleh John w. Creswell, penulis juga akan membahasan satu pendekatan lain yaitu
pendekatan Agama, di mana pendekatan ini relevan dengan cipitas akademika
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penulisan makalah
ini penulis mentukan rumusan masalah sebagai
berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan pendekatan keagamaan dalam
penelitian kualitatif
2.
Apa yang dimaksud dengan pendekatan Fenomenologi dalam
penelitian kualitatif
3.
Apa yang dimaksud dengan pendekatan Fenomenologi dalam
penelitian kualitatif
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan Kegamaan Dalam Penelitian Kualitatif
Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan
yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan. Mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur
hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan
sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang
diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan
memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib
dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai
kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk
untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat
menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi
tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya
Penelitian kulalitatif
dengan pendekatan agama/keagamaan adalah penelitian sosial yang berusaha
mengungkap sikap
manusia terhadap agama,
yakni: Sikap manusia
terhadap
agama sebagai pedoman hidup (way of life)
oleh para pemeluknya, dan sikap terhadap agama sebagai (kajian)
ilmu oleh para pemeluknya, maupun yang bukan sebagai pemeluknya. Sehubungan dengan hal
tersebut, setidaknya terdapat 2 (dua) pendekatan yang menonjol dalam
mempelajari agama, yakni; mempelajari agama untuk
mengetahui cara beragama yang benar dengan mengedepankan aspek relijiusitas dan
spiritualitas sehingga esensi ajaran agama dapat dihayati untuk kemudian
dilaksanakan dalam
kehidupan. Orientasinya adalah implementasi norma. Kedua
adalah Mempelajari (meneliti)
agama, keagamaan dan kehidupan beragama sebagai ilmu atau ilmu pengetahuan sebagai
kebudayaan.
Penlitian dengan
pendekatan keagamaan berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Penelitian
keagamaan dan kehidupan beragama, dapat memanfaatkan metode-metode penelitian
kualitatif yang lazim dimanfaatkan dalam penelitian-penelitian sosial dan
humaniora. Penelitian
kualitatif dengan pendekatan keagamaan adalah penelitian sosial dengan dengan pendekatan terhadap manusia
sebagai hamba, sekaligus sebagai makhluk
sosial yang beribadah, menganut kepercayaan, dan menjalankan kepercayaan
tersebut dalam lingkungan kehidupan tertentu. Dalam kalangan ahli ilmu agama berkembang
kecenderungan untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta
metode-metode penelitiannya. Kecenderungan ini terdorong oleh kesadaran bahwa, usaha memahami masyarakat
beragama dan kehidupan beragama harus didekati dengan metode empiris.
1. Arti Penelitian agama
Penelitian adalah upaya sistematis dan objektif
untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu,
penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk
menambah pengetahuan.
Pengetahuan manusia
tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat
penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu
melalui penemuan-penemuan baru.[1]
Penelitian itu
sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan.
Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang
fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.[2]
Sedangkan
penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang sudah
lama diperdebatkan. Harun Nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa
agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu
sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang
berbeda dengan metode ilmu sosial.[3]
Hal yang sama juga
dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid dalam Hakim dan Mubarak menjelaskan bahwa
agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama
merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama
memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti.[4]
Menurut Harun Nasution, agama
mengandung dua kelompok ajaran, yaitu:
1.
Ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat
manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci.
Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan
tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau
pakar agama membentuk ajaran agama kelompok.
2.
Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut,
mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan
ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan
hasil pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk
ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah
sesuai dengan perkembangan zaman.[5]
Para ilmuwan sendiri beranggapan
bahwa agama juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan
bagian dari kehidupan sosial kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti
hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati,
meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian
agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu
ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas
sosial-kultural. Jadi, Ahmad Syafi’i Mufid dalam Mochtar menyatakan bahwa kita
tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian sosial
terhadap agama.
Dengan demikian
kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lainnya,
yang membedakannya hanyalah objek kajian yang ditelitinya. Dengan demikian,
agama dalam pengertian yang kedua menurut Harun Nasution dapat dijadikan
sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode khusus yang berbeda
dengan metode yang lain.[6]
Jadi pendapat Harun
Nasution mengenai penjelasan-penjelasan tentang ajaran-ajaran yang terdapat
dalam kitab-kitab suci oleh para pemuka atau pakar agama membetuk ajaran agama
kelompok kedua bersifat nisbi, relatif dan dapat dirubah sesuai perkembangan
zaman tidak sesuai dengan ajaran islam, sebagai contohnya Rasulullah
menjelaskan tata cara shalat, sedangkan didalam kitab suci tidak diterangkan
tata cara shalat, dan tata cara shalat ini sendiri bersifat qhat’i (tidak bisa dirubah). Kalau menurut Harun Nasution berarti
penjelasan-penjelasan Rasulallah tentang tata cara shalat berarti bersifat
nisbi dan dapat dirubah.[7]
2. Penelitian Agama dan Penelitian Keagamaan
Penelitian agama lebih ditekankan pada aspek pemikiran
dan interaksi sosial. Pada aspek pemikiran, menggunakan metode filsafat dan
ilmu-ilmu humaniora. Sedangkan pada aspek interaksi sosial, yakni penelitian
keagamaan sebagai produk interaksi sosial, menggunakan pendekatan sosiologi,
antropologi, historia atau sejarah sosial yang biasa berlaku dan sebagainya.
Misalnya : penelitian tentang perilaku jama’ah haji di daerah tertentu,
hubungan ulama dengan keluarga berencana, penelitian tentang perilaku ekonomi
dalam masyarakat muslim.
Dalam pandangan
Middleton, penelitian agama Islam adalah penelitian yang objeknya adalah
substansi agama Islam, seperti kalam, fikih, akhlak, dan tasawuf. Sedangkan
dalam pandangan Juhaya S. Praja menyebutkan bahwa penelitian agama adalah
penelitian tentang asal usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut
ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya.[8]
M. Atho Mudzhar
menyatakan bahwa perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian keagamaan
perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian
yang diperlukan. Untuk
penelitian agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi
penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang pernah merintisnya.
Adanya ilmu ushul al-fiiqh sebagai metode untuk istinbath
hukum dalam agama islam dan ilmu mushthalah al-hadits sebagai metode untuk
menilai akurasi sabda Nabi Muhammad saw. merupakan bukti bahwa keinginan untuk
mengembangkan metodologi
penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan agama ini pernah muncul.[9]
Penelitian
keagamaan yang sasarannya adalah agama sebagai gejala
sosial, kita tidak perlu membuat metodologi penelitian tersendiri. Ia cukup
meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada.[10]
Dengan kata lain
bahwa pendapat M. Atho Mudzhar identik dengan pendapat
yang dikemukakan Harun Nasution, kalau penelitian agama sama dengan ajaran
agama kelompok pertama dan penelitian keagamaan sama dengan ajaran agama
kelompok kedua menurut Harun Nasution.
Juhaya S. Praja, dalam pandangannya mengatakan;
penelitian agama
adalah penelitian tentang asal-usul agama, dan pemikiran serta pemahaman
penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung didalamnya.
Dengan demikian, terdapat dua bidang penelitian agama, yaitu sebagai berikut;
1. Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin
ilmu tafsir dan ilmu hadis.
Sedangkan
penelitian keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama
yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif. Berdasarkan batasan
tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi hal-hal berikut.
1.
Perilaku individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang didasarkan
atas agama yang dianutnya.
2.
Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya
maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu agama.
3. Ajaran
agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat
beragama.[12]
Dalam hal ini,
pendapat yang dikemukakan oleh Juhaya S. Praja ada kesamaan dengan pendapat
Harun Nasution dan M. Atho Mudzhar, akan tetapi Juhaya membagi penelitan agama
menjadi dua bidang, yang pada intinya pendapatnya sama dengan pendapat Harun
Nasution tentang ajaran agama kelompok pertama. Sedangkan penelitian keagamaan
menurut Juhaya adalah penelitian keagamaan, yaitu penelitian terhadap
praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan
kolektif.
3. Model-Model Penelitian Keagamaan
Model-model
penelitian keagamaan disesuaikan dengan perbedaan antara penelitian agama dan
penelitian keagamaan. Djamari, menjelaskan bahwa kajian sosiologi agama dengan
menggunakan metode ilmiah. Pengumpulan data dan metode yang digunakan antara
lain:[13]
1. Analisis Sejarah
Dalam hal ini,
sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat
menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga,
dan pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter agama dengan
meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain.
Seperti halnya
agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah agama yang diturunkan melalui
Nabinya yaitu Muhammad saw berdasarkan kitab sucinya yaitu Alquran yang ditulis
dalam bahasa arab. Islam diturunkan bukan untuk satu bangsa saja melainkan
untuk seluruh bangsa secara universal. Sedangkan agama lain ada yang hanya
diturunkan untuk satu bangsa saja seperti yahudi untuk ras yahudi saja.[14]
Pendekatan sejarah
dalam memahami agama dapat membuktikan apakah agama itu masih tetap pada
orisinalitasnya seperti ketika ia baru muncul atau sudah bergeser jauh dari
prinsip-prinsip utamanya. Bila hal itu dihubungkan dengan agama islam maka ia
dapat dimasukkan pada kategori agama yang bertahan konsisten dengan ajaran
seperti pada masa awalnya.[15]
Menurut ahli
perbandingan agama seperti A. Mukti Ali, apabila kita ingin memahami sebuah
agama maka kita harus mengidentifikasi lima aspek yaitu konsep ketuhanan,
pembawa agama atau nabi, kitab suci, sejarah agama, dan tokoh-tokoh terkemuka
agama tersebut.[16]
2. Analisis lintas budaya
Analisis lintas
budaya bisa diartikan dengan ilmu antropologi, karena dilihat dari definisi
antropologi sendiri secara sederhana dapat dikatakan bahwa antropologi mengkaji
kebudayaan manusia.[17]
Islam sebagai agama
yang dibawa oleh Muhammad saw sampai saatnya kini telah melalui berbagai
dimensi budaya dan adat-istiadat. Masing-masing negeri memiliki corak budayanya
masing-masing dalam mengekspresikan agamanya. Karena itu dari segi antropologi
kita dapat memilah-milah mana bagian islam yang merupakan ajaran murni dan mana
ajaran islam yang bercorak lokal budaya setempat.[18]
3. Eksperimen.
Penelitian yang
menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam penelitian agama. Namun,
dalam beberapa hal,eksperimen dapat dilakukan dalam penelitian agama, misalnya
untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar dari beberapa model pendidikan
agama.
4. Observasi partisipatif.
Dengan partisipasi
dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam konteks
relegius. Baik diketahui atau tidak oleh orang yang sedang diobeservasi. Dan
diantara kelebihannya yaitu memungkinkannya pengamatan simbolik antar anggota
kelompok secara mendalam. Adapun kelemahannya yaitu terbatasnya data pada
kemampuan observer.
5. Riset survei dan analisis statistik
Penelitian survei
dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan sampel dari suatu
populasi. Sampel bisa berupa organisasi keagamaan atau penduduk suatu kota atau
desa. Prosedur penelitian ini dinilai sangat berguna untuk memperlihatkan korelasi
dari karakteristik keagamaan tertentu dengan sikap sosial atau atribut
keagamaan tertentu.
6. Analisis isi
Dengan metode ini,
peneliti mencoba mencari keterangan dari tema-tema agama, baik berupa tulisan,
buku-buku khotbah, doktrin maupun deklarasi teks, dan
lainnya. Umpamanya sikap kelompok keagamaan dianalisis dari substansi ajaran
kelompok tersebut.[19]
B. Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Fenomenologi
Konsep fenomenologi
bermula dari pandangan Edmund Husserl yang meyakini bahwa sesungguhnya objek
ilmu itu tidak terbatas pada hal-hal yang empiris (terindra), tetapi juga
mencakup fenomena yang berada di luar itu, seperti persepsi, pemikiran, kemauan
dan keyakinan subjek tentang “sesuatu” di luar dirinya. Sesungguhnya memang
demikian. Pada dasarnya masih banyak
objek yang tidak terindra oleh manusia, dan terkadang yang terindra oleh
manusia belumlah merupakan tampilan yang sesungguhnya dari apa yang semestinya.
Misalnya, saat
kita menanyakan pendapat seseorang tentang sesuatu dan yang bersangkutan
mengangguk-angguk dengan pendapat yang kita kemukakan, fenomena mengangguknya
yang terindra oleh manuasia memiliki banyak makna. Pada kasus ini, mungkin saja
yang bersangkutan mengangguk karena menyetujui lontaran pendapat dari yang
lainnya, atau mungkin pula yang bersangkutan sedang berpikir dan mencerna
pendapat itu.
Penelitian
dengan berlandaskan fenomenologi adalah penelitian yang melihat objek
penelitian dalam satu konteks naturalnya. Artinya seorang peneliti kualitatif
yang menggunakan dasar fenomenologi melihat suatu peristiwa tidak secara
parsial,[20]
lepas dari konteks sosialnya karena satu fenomena yang sama dengan situasi yang
berbeda akan memiliki makna yang berbeda pula. Untuk itu, dalam mengobservasi
data di lapangan, seorang peneliti tidak dapat melepas konteks atau situasi
yang menyertainya, dengan kata lain penelitian yang menggunakan model fenomenologi
menuntut bersatunya subjek penelitian
dengan subjek pendukung penelitian, dengan demikian metode penelitian
berlandaskan fenomenologi mengakui adanya empat kebenaran, yaitu; kebenaran empiris yang terindra, kebenaran
empiris logis, kebenaran empiris etik, dan kebenaran trasendental.[21]
Pendekatan
fenomenologi dalam penelitian kulatitatif juga merupakan studi yang berusaha mencari "esensi"
makna dari suatu fenomena yang dialami oleh beberapa individu. untuk menerapkan
riset fenomenologis, peneliti bisa memilih antara fenomenologi hermeneutik
yaitu yang berfokus pada "penafsiran" teks-teks kehidupan dan
pengalaman hidup atau fenomenologi transendental dimana peneliti berusaha
meneliti suatu fenomena dengan mengesampingkan prasangka tentang fenomena
tersebut. Prosedurnya yang terkenal adalah Epoche (pengurungan), yakni suatu
proses di mana peneliti harus mengesampingkan seluruh pengalaman sebelumnya
untuk memahami semaksimal mungkin pengalaman dari para partisipan. Analisisnya
berpijak pada horizonalisasi, di mana peneliti berusaha meneliti data dengan
menyoroti pernyataan penting dari partisipan untuk menyediakan pemahaman dasar
tentang fenomena tersebut.
Fenomenologi
adalah fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Fenomenologi
merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif
berhubungan dengan suatu objek. Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari
bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan,
seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau dapat diterima secara
estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengonstruksi
makna dan konsep-konsep penting dalam kerangka intersubjektifitas. Secara
harfiah, fenomenologi adalah studi yang mempelajari fenomena, seperti
penampakan, segala hal yang muncul dalam pengalaman kita, cara kita mengalami
sesuatu dan makna yang kita miliki dalam pengalaman tersebut.
Pada dasarnya
fenomenologi mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran yang ada di dalam
persepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, dan tindakan, baik itu
tindakan sosial maupun dalam bentuk bahasa.
Berbicara
tentang metodologi penelitian, maka fenomenologi dapat dibagi menjadi dua
yaitu:
1.
Metodologi Penelitian Fenomenologi Schutz.
Schutz
mengawali pemikirannya dengan mengatakan bahwa objek penelitian ilmu sosial
pada dasarnya berhubungan dengan interpretasi terhadap realitras. Jadi sebagai
peneliti sosial, kitapun harus membuat interpretasi terhadap realitas yang
diamati, dalam meneliti, peneliti harus menggunakan metode interpretasi yang
sama dengan orang yang diamati, sehingga peneliti bisa masuk ke dalam dunia
interpretasi orang yang dijadikan objek penelitian. Pada praktiknya, peneliti
mengasumsikan dirinya sebagai orang yang tertarik atau bukan bagian dari dunia
yang diamati, peneliti hanya terlibat secara kognitif dengan yang diamati.
2.
Metodologi Penelitian Fenomenologi Transendental Husserl
Pemikiran
fenomenologi transendental Husserl berbicara tentang perbedaan fakta dan esensi
dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real dan yang tidak
real. Karena itu, secara metologis, fenomenologis, bertugas menjelaskan thing in themselves, mengetahui apa yang
masuk sebelum kesadaran dan memahami makna dan esensinya, dalam intuisi dan refleksi
diri. Proses ini memerlukan penggabungan dari apa yang tampak, dan apa yang ada
dalam gambaran orang yang mengalaminya, jadi gabungan antara yang nyata (real)
dan yang ideal.
Dalam strategi
pengumpulan data untuk pendekatan fenomenologi dapat menggunakan campuran
obeservasi, wawancara, dan membaca teks-teks yang berhubungan dengan objek
penelitian.
C. Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Kasuistik (studi Kasus)
Penelitian kualitatif dengan pendekatan kasusuistik adalah salah satu metode penelitian dalam ilmu sosial.
Dalam riset yang
menggunakan metode ini, dilakukan pemeriksaan longitudinal yang mendalam
terhadap suatu keadaan atau kejadian yang disebut sebagai kasus dengan
menggunakan cara-cara yang sistematis dalam melakukan pengamatan, pengumpulan data, analisis informasi,
dan pelaporan hasilnya.
Sebagai hasilnya, akan diperoleh
pemahaman yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan dapat menjadi dasar
bagi riset selanjutnya. Pendakatan Kasuistik dalam
penelitian kualitatif sering juga disebut dengan studi kasus, dapat digunakan untuk
menghasilkan dan menguji hipotesis. Pendapat lain menyatakan bahwa
studi kasus adalah suatu strategi riset, penelaahan empiris yang
menyelidiki suatu gejala dalam latar kehidupan nyata. Strategi ini dapat
menyertakan bukti kuatitatif yang bersandar pada berbagai sumber dan
perkembangan sebelumnya dari proposisi teoretis. Studi kasus dapat menggunakan
bukti, baik
yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Penelitian dengan subjek
tunggal memberikan kerangka kerjastatistik untuk
membuat inferensi dari data studi kasus kuantitatif.
Seperti halnya pada tujuan
penelitian lain pada umumnya, pada dasarnya peneliti yang menggunakan metode
penelitian studi kasus bertujuan untuk memahami objek yang ditelitinya.
Meskipun demikian, berbeda dengan penelitian yang lain, penelitian studi kasus
bertujuan secara khusus menjelaskan dan memahami objek yang ditelitinya secara
khusus sebagai suatu ‘kasus’. Berkaitan dengan hal tersebut, Tujuan penggunaan penelitian studi
kasus adalah tidak sekadar untuk menjelaskan seperti apa objek yang diteliti,
tetapi untuk menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat
terjadi, dengan kata lain, penelitian studi kasus bukan sekadar menjawab
pertanyaan penelitian tentang ‘apa’ (what)
objek yang diteliti, tetapi lebih menyeluruh dan komprehensif lagi adalah
tentang ‘bagaimana’ (how) dan ‘mengapa’ (why) objek tersebut terjadi dan
terbentuk sebagai dan dapat dipandang sebagai suatu kasus. Sementara itu,
strategi atau metode penelitian lain cenderung menjawab pertanyaan siapa (who),
apa (what), dimana (where), berapa (how many) dan seberapa besar (how much).
[1] Atang Abd. Hakim dan Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam (Cet. X; Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008), h. 55.
[14] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi
Studi Islam (Cet. I; Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), h. 118
[19] Risnaldi, Corak dan Model
Keagamaan. (http://risnaldi-sbkr.blogspot.com/2010/11 /corak-dan-model-penelitian-agama.html.) diakses tanggal 19 Desember 2016.
[20] Seorang
peneliti tidak memandang fenomena secara sepotong-sepotong, akan tetapi secara menyeluruh.
[21] Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif (Cet. Ke II; Erlangga,
2009), h. 59.